Kejayaan Gerabah Sitiwinangun

Kejayaan Gerabah Sitiwinangun

Saya Gerabah Sitiwinangun Cirebon menulis lagi. Sitiwinangun dikenal sebagai desa sentra produksi Gerabah tertua dipesisir utara jawa barat. Terletak di kecamatan jamblang, sekitar 15 kilo meter kota cirebon dari arah jakarta, gerabah yang dihasilkan memiliki ciri khas, selain penggunaan teknik tradisional yaitu pinching (pijit), ditambah pula dengan adanya corak hias atau ukiran yang ditorehkan pada setiap gerabah tersebut.

Corak hias yang biasa ditorehkan memiliki unsur tradisional seperti model sulur kangkung, anyaman, motif tali duri ikan, tumpal, pilin, meander, melati, dan yang menjadi ciri khas cirebon adalah motif melati, tetapi sekarang yang banyak beredar adalah motif mega mendung. Lihat dibawah ini bentuk yang dihasilkan meliputi wadasan, pot bunga atau tempayan air, ada pula patung yang dibentuk seperti paksi naga liman atau singa barong.

Kejayaan gerabah sitiwinangun
Kejayaan gerabah sitiwinangun


Karya Gerabah Sitiwinangun memerlukan keahlian tingkat tinggi karena selain kemampuan menggerabah juga memerlukan kemampuan teknik hias yang rumit dan membutuhkan kecermatan. Seperti yang diungkapkan bapak Ut (utama), salah satu sesepuh desa, disini dikenal bentuk gerabah hias dengan binatang singa barong yang menggendong singa barong kecil dipunggungnya. Kata orang dulu mengadung mitos atau simbol melambangkan kesetiaan atau kasih sayang  orang tua kepada anaknya. Seberapa jauh anak melangkah, orang tua tatap memperhatikan, mendoakan dan memberikan dorongan.

Masyarakat SITIWINANGUN memang identik dengan gerabah karena bila dilihat dari asal kata Siti berarti Tanah, dan Wangun yang berarti Bentuk. Konon kegiatan menggerabah sudah dilakukan sejak sekitar tahun 1122 yang digiatkan pertama kalinya oleh PANGERAN PANJUNAN yang sangat termpil dalam menghasilkan gerabah yang indah. Keahliannya tersebut kemudian diturunkan kepada Pangeran Jagabaya yang juga menghasilkan karya gerabah yang halus, apik dan indah.

Pangeran Jagabaya inilah yang kemudian menjadi cikal bakal leluhur masyarakat  Sitiwinangun. Menurut sesepuh kami, keahlian Pangeran diteruskan secara turun temurun, bahkan ada semacam ritual yang harus dijalankan oleh masyarakat yang ingin menggerabah. Penggerabah yang menginginkan hasil gerabahnya bagus, halus, harus jalan mengelilingi makam Pangeran sambil meng-angkat batu. Kalau mau membuat gerabah kecil, bawa batunya yang berukuran kecil, tetapi kalau mau membuat gerbah yang berukuran besar, ya bawa batunya harus berukuran besar juga. Begitulah menurut para sepuh kami. Maksudnya untuk meminta restu dari leluhur (karuhun) supaya hasil bagus dan banyak diminati orang. Ritual semacam itu sudah tidak terlalu dipegang lagi. Kalau dulu setiap hari ada saja yang melakukan ritual itu karena semua warga sitiwinangun profesinya sama penggerabah turun temurun. Namun sekarang sudah jarang melihat pemandangan seperti itu lagi, apalagi kalau harus ikuti ritual. Tapi untuk generasi yang sudah tua masih ada yang memegang tradisi, kata sepuh kami. 

Dinasti penggerabah yang saat ini masih tersisa, dua diantaranya Bapak Miskadna dan Bapak Kadmiya. keduanya belajar menggerabah dari kakek dan orang tua mereka masing-masing. Dulu semua sudah otomatis mengikuti orangtua menggerabah.

Di jaman Kejayaan Gerabah Sitiwinangun setiap hari ada gerabah yang selesai diproduksi dan siap dipasarkan. Tidak kurang dari sepuluh truk setiap harinya datang untuk mengangkut hasil karya gerabah, sehingga Desa Sitiwinangun terasa hidup sekali, dan dan menjadi salah satu daerah pilihan yang ramai dikunjungi wisatawan lokal.

Kekhasan Gerabah Sitiwinangun  menjadi kebanggaan Kota Cirebon karena karya yang dihasilkan tidak saja mencerminkan kesederhanaan lewat terakota yang dipertahankan, tetapi memonjolkan torehan ukiran yang luar biasa rapih dan halus, sehingga menjadi daerah sebagai rujukan bagi orang yang berminat belajar membuat gerabah. Banyaknya permintaan gerabah membuat kerajinan kerakyatan ini layaknya industri karena dapat menghidupi keluarga turun-temurun. Satu hal yang perlu diacungi jempol adalah suburnya rasa persaudaraan dan kerja sama sehingga dari dulu proses pembuatan gerabah dilakukan secara gotong-royong tertama saat pembakaran. Tidak timbul rasa persaingan di antara mereka (pengrajin) percaya bahwa karya leluhur diwariskan demi kelangsungan hidup deluruh masyarakat desa, dan merupakan tanggung jawab bersama.

Sekitar tahun 90'an seorang alumni seni rupa ITB, Bapak Bonzan Eddy Prasetio (alm), memperkenalkan teknik yang lebih modern, dan memperkaya motif Gerabah Sitiwinangun tanpa meninggalkan sentuhan tradional. GERABAH SITIWINANGUN tidak hanya terpajang di rumah-rumah, tetapi juga samapi ke lobby kantor pemerintah maupun swasta, bahkan sampai di hotel-hotel dan cafe'. Membaca buku yang ditulis Paulina Dinartisti Bentara Budaya saya jadi merindukan masa-masa Kejayaan Gerabah Sitiwinangun. Semoga kita bisa mewujudkan kembali Kejayaan tersebut, amin.

Sejarah Gerabah Sitiwinangun Jamblang Cirebon
Sejarah Gerabah Sitiwinangun Jamblang Cirebon
Sejarah Gerabah Sitiwinanhun Jamblang Cirebon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Video Murottal Surah Al-Baqarah Idris Al-Hasyimi

Video Murotal Suara Merdu Qari Idris Al-Hasyimi/Idres Al-Hashemi

Video Murottal Merdu Surah An-Naba' Syaikh Hani Ar-Rifa'i